Kebijakan tarif impor yang kembali digaungkan oleh pemerintahan Trump bak awan gelap yang menggantung di atas industri teknologi global, khususnya bagi para raksasa smartphone yang memasarkan produknya ke Amerika Serikat. Dalam iklim dagang yang semakin tidak pasti ini, konsumen AS berisiko menghadapi kenaikan harga perangkat pintar, termasuk gawai dari Samsung.
Seperti halnya pemain besar lainnya di pasar gadget Amerika, Samsung juga terjerat kewajiban membayar bea masuk atas produk-produk yang dibawanya ke Negeri Paman Sam. Namun berbeda dari sejumlah produsen yang telah memiliki basis manufaktur lokal, perusahaan asal Korea Selatan ini justru tidak memiliki fasilitas perakitan di wilayah AS.
Menurut laporan dari Neowin, Samsung masih sangat bergantung pada rantai produksi di luar Amerika. Unit-unit smartphone yang beredar di pasar AS dikirim dari pabrik-pabrik di negara seperti Brasil, Vietnam, dan India—yang masing-masing dikenakan tarif berbeda. Kondisi ini menjadikan Samsung sangat rentan terhadap dampak kenaikan pajak impor yang diberlakukan secara menyeluruh.
Para analis industri bahkan memperkirakan bahwa iPhone—produk pesaing utama Samsung—dapat mengalami lonjakan harga hingga 43 persen akibat kebijakan tersebut. Jika tren ini tak terbendung, Samsung pun bisa saja mengikuti jejak serupa demi menjaga margin keuntungan dan stabilitas bisnisnya.
Langkah strategis yang diambil Samsung pada 2019, yakni menghentikan produksi ponsel di Tiongkok karena kerasnya persaingan dengan merek lokal, kini menjadi bumerang. Impor dari China ke AS saat ini dibebani tarif hingga 54 persen. Untuk mengatasi hal ini, Samsung telah mengalihkan fokus produksi ke Vietnam, yang kini menyumbang sekitar 45 hingga 60 persen dari total volume produksinya. Namun, pengiriman dari negara tersebut juga tak lepas dari beban pajak, yakni sebesar 46 persen.
Di luar Vietnam, Samsung juga memiliki jalur produksi di India, Brasil, dan Korea Selatan. Dari ketiga negara ini, Brasil tampaknya menjadi titik terang karena hanya terkena tarif impor sebesar 10 persen—yang berarti jauh lebih ringan dibandingkan mitra manufaktur lainnya. Mengarahkan lebih banyak produksi ke negara di Amerika Selatan itu bisa menjadi strategi efisien untuk menekan biaya tambahan.
Di sisi lain, Apple pun dikabarkan tengah mempertimbangkan langkah serupa. Raksasa teknologi dari Cupertino itu disebut-sebut sedang menjajaki opsi memperluas produksi iPhone di Brasil demi menghindari lonjakan harga di pasar AS akibat tarif impor yang membengkak.
Dengan semua dinamika ini, masa depan harga smartphone di Amerika Serikat tampaknya akan sangat dipengaruhi oleh manuver strategis para produsen dan kebijakan perdagangan pemerintah. Konsumen pun kini berada di tengah pusaran ketidakpastian, menanti apakah perangkat pintar favorit mereka akan tetap terjangkau, atau justru jadi barang mewah baru karena gejolak geopolitik dagang.