Pada Jumat (28/2/2025), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak dalam kisaran Rp16.550-Rp16.590. Ini merupakan posisi terlemah sejak 23 Maret 2020. Beberapa money changer di Jakarta Selatan pun telah menetapkan harga jual dolar AS di angka Rp16.510-Rp16.560 per unitnya.
Dua dekade lalu, Indonesia pernah mengalami situasi serupa. Pada 1998, nilai dolar AS terhadap rupiah sempat mencapai Rp16.800, bahkan dalam waktu yang sangat singkat. Krisis ekonomi saat itu semakin diperparah dengan krisis politik yang menyebabkan tumbangnya rezim Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun.
Saat itu, kepemimpinan diambil alih oleh B.J. Habibie, sosok yang awalnya diragukan banyak pihak. Banyak kritik menyebutnya hanya seorang teknokrat di bidang industri pesawat terbang tanpa pengalaman langsung dalam ekonomi makro. Bahkan, Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Kuan Yew, mengkhawatirkan bahwa naiknya Habibie justru akan memperburuk kondisi rupiah.
Namun, kenyataan berkata lain. Habibie justru mampu mengembalikan kepercayaan pasar dan menstabilkan rupiah hingga akhirnya kembali ke level Rp6.550. Berikut tiga strategi utama yang diterapkan oleh Habibie:
1. Restrukturisasi Perbankan
Pada era Orde Baru, pemerintah mempermudah pendirian bank melalui kebijakan Paket Oktober 1988. Sayangnya, kemudahan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan sistem perbankan nasional. Ketika krisis melanda, banyak bank mengalami kebangkrutan yang berujung pada penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, memicu kepanikan di sektor keuangan.
Habibie mengambil langkah drastis dengan melakukan restrukturisasi perbankan. Salah satu kebijakan utamanya adalah menggabungkan empat bank milik pemerintah menjadi satu entitas baru yang lebih kuat, yaitu Bank Mandiri. Selain itu, ia juga mengupayakan agar Bank Indonesia (BI) tidak lagi berada di bawah kendali pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang No.23 Tahun 1999. Dalam otobiografinya, B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan (2006), ia menekankan bahwa independensi BI merupakan kunci utama dalam memperkuat nilai rupiah.
2. Kebijakan Moneter Ketat
Untuk mengembalikan stabilitas keuangan, Habibie menerapkan kebijakan moneter ketat melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga tinggi. Langkah ini bertujuan menarik kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga mereka terdorong untuk menyimpan uangnya di bank, bukan di luar sistem keuangan formal.
Strategi ini terbukti efektif. Dengan meningkatnya jumlah simpanan masyarakat di bank, peredaran uang tunai di pasar menurun, sehingga tekanan terhadap rupiah berkurang. Berkat kebijakan ini, suku bunga yang sebelumnya menyentuh angka 60% bisa turun ke level belasan persen dalam waktu relatif singkat.
3. Pengendalian Harga Bahan Pokok
Habibie menyadari bahwa di tengah krisis, menjaga daya beli masyarakat adalah prioritas utama. Oleh karena itu, ia berusaha memastikan harga kebutuhan pokok tetap stabil dengan mempertahankan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik. Dengan harga energi yang terkendali, harga barang kebutuhan sehari-hari pun tetap terjangkau bagi rakyat.
Namun, kebijakan ini juga sempat menuai kontroversi. Dalam salah satu pidatonya, Habibie menyarankan rakyat untuk berpuasa Senin-Kamis sebagai bentuk penghematan dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini kemudian didokumentasikan oleh A. Makmur Makka dalam bukunya Inspirasi Habibie (2020).
Hasil Nyata: Rupiah Kembali Stabil
Berkat kombinasi kebijakan di sektor perbankan, moneter, dan harga kebutuhan pokok, kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia perlahan pulih. Aliran modal asing kembali masuk, investasi meningkat, dan tekanan terhadap rupiah berangsur mereda. Akhirnya, dolar AS yang semula berada di level Rp16.800 bisa turun hingga menyentuh Rp6.550.
Langkah-langkah yang diterapkan oleh Habibie menjadi bukti bahwa dengan kebijakan ekonomi yang tepat, krisis sebesar apa pun dapat diatasi. Keberhasilannya dalam menstabilkan rupiah pun hingga kini tetap dikenang sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia.