Di tengah arus ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump kembali menjadi sorotan. Salah satu yang turut merespons situasi ini adalah Acer, pemain besar di industri perangkat komputer dunia.
Andrew Hou, Presiden Acer untuk kawasan Pan Asia Pasifik, menyoroti bahwa penerapan tarif oleh AS berpotensi melahirkan dua sisi mata uang: kerugian dan peluang. Ia menjelaskan bahwa bila barang-barang yang semula dipasarkan ke Negeri Paman Sam tak lagi bisa masuk akibat beban tarif, maka akan terjadi limpahan produk ke pasar lain — sebuah kondisi yang bisa memicu kelebihan pasokan atau overload di pasar tujuan baru.
“Jika produk tidak bisa dikirimkan orang ke Amerika, ke mana lagi mereka akan mengirim? Jadi sekarang kita melihat produk China khususnya, karena tidak bisa dikirim ke AS, mulai dikirim ke kawasan Asia Tenggara,” cetus Hou.
Dengan kata lain, Asia Tenggara bisa menjadi ladang pelarian bagi produk-produk yang kehilangan jalur distribusinya ke Amerika. Namun, bagi Hou, ini bukan hanya persoalan penumpukan barang, melainkan juga tantangan bagi kestabilan pasar di kawasan.
Di sisi lain, Hou tak menampik bahwa dari tekanan ini bisa muncul suatu pola baru yang justru membawa dampak konstruktif. Ia menyebut kemungkinan terbentuknya jaringan produksi alternatif selain di China sebagai imbas dari tarif AS yang berkelanjutan.
“Akan ada China plus 1. Jadi artinya, akan ada beberapa manufaktur yang pindah dari China ke Vietnam, Thailand, atau bahkan India,” imbuhnya.
Pergeseran ini, bila benar terjadi secara menyeluruh, dapat menumbuhkan pusat-pusat produksi baru di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya aktivitas manufaktur di wilayah tersebut, Hou menilai akan tercipta dampak ikutan yang positif bagi negara-negara penerima investasi tersebut.
“Artinya apa? Lebih banyak kesempatan kerja, menciptakan GDP untuk negara-negara itu, jadi hal itu akan membantu mereka,” papar Hou.
“Dengan GDP lebih baik, terbuka peluang lapangan kerja dan juga akan menciptakan sebagian permintaan konsumen. Jadi itulah yang kami pikirkan akan terjadi mengenai tarif,” imbuhnya.
Meski begitu, pihak Acer tetap menyimpan kekhawatiran terhadap kemungkinan membanjirnya barang-barang hasil produksi luar ke Asia Tenggara, akibat terbatasnya akses mereka ke pasar Amerika.
“Kami harap tidak terjadi dumping itu, tapi sulit mengatakannya. Kami melihat beberapa merek PC, terutama merek dari AS, jika mereka tidak bisa menjual banyak di pasar lokal, bisa berakhir di Asia Tenggara. Kami belum tahu, tapi kami cemas itu akan terjadi,” cetus Hou.
Bagi Acer, kebijakan tarif dari Amerika Serikat bukan hanya tentang perang dagang antar negara adidaya, tetapi juga sebuah dinamika yang dapat mempengaruhi peta rantai pasokan, arah investasi industri, hingga potensi tumbuh atau runtuhnya ekonomi kawasan. Dalam permainan global ini, Asia Tenggara tampaknya harus bersiap menjadi arena utama.