Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menunjukkan keyakinannya bahwa Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Optimisme ini muncul setelah melihat dukungan signifikan dari parlemen yang mencapai 80%, serta berbagai faktor pendorong lainnya yang memperkuat landasan ekonomi Indonesia ke depan.
Dalam pidatonya pada Indonesia Economic Summit by IBC di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa (18/2/2025), Airlangga membuka wawasan dengan mengutip dua buku yang dianggap menggambarkan kebijakan baru Indonesia. Buku pertama adalah Why Nations Fail karya James Robertson, dan The Shaping of World Order karya Ray Dalio. Airlangga mengungkapkan bahwa Indonesia pernah memainkan peran penting dalam sejarah dunia, terutama pada abad ke-16 hingga ke-18, saat Belanda menjadi kekuatan utama global, banyak didorong oleh komoditas yang dimiliki Indonesia.
“Pak Arsjad (Ketua Dewan Pertimbangan IBC) tadi menyebutkan pada era Suharto, politik secara eksklusif untuk Golkar, maka kemakmuran bisa mencapai 8%. Sekarang karena buku-buku Ray Dalio dalam politik inklusivitas, jadi kita harus menyesuaikan pertumbuhan menjadi 5%,” ujar Airlangga, mengacu pada perubahan lanskap politik dan ekonomi Indonesia yang lebih inklusif saat ini.
Meski demikian, Airlangga tetap optimistis bahwa Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, bahkan hingga 8%. Kuncinya, menurutnya, adalah dukungan besar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lebih dari 80%, serta popularitas pemerintah yang mencapai 82%. “Namun karena dukungan pemerintah baru sebesar 80%, lebih dari 80%, di parlemen, dan popularitas lebih dari 82%, jadi saya pikir kita juga memiliki aspirasi pertumbuhan yang lebih tinggi, 7 hingga 8%,” jelasnya.
Namun, untuk mencapai target tersebut, dukungan dari para pengusaha dan CEO di industri menjadi sangat penting. Indonesia juga harus tetap menjaga optimisme dan kesolidan internal meskipun tantangan global yang besar terus menghantui. “Salah satu kunci utama untuk mencapai target pertumbuhan tinggi ialah dengan dukungan dari para pengusaha dan CEO di industri,” kata Airlangga, menekankan peran sektor swasta dalam menopang perekonomian.
Perekonomian global saat ini menghadapi ketidakpastian yang cukup besar, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan hanya sekitar 2,7% hingga 3,3%, jauh di bawah tingkat pertumbuhan sebelum pandemi COVID-19. Faktor ketidakpastian kebijakan geopolitik dan ketegangan antara negara-negara besar, seperti Eropa-AS dan China-AS, menjadi penyebab utama.
“Ketidakpastian di Taiwan dan pembatasan komoditas dan industri strategis. Sekarang semikonduktor memiliki fungsi ganda. Yang pertama untuk perdamaian, yang kedua untuk perang dunia. Itulah sebabnya ada pembatasan ekspor semikonduktor,” tambah Airlangga, merujuk pada dampak ketegangan geopolitik terhadap perdagangan dan industri global.
Indonesia juga merasakan dampak dari pembatasan ekspor semikonduktor yang diberlakukan oleh negara-negara besar. Meskipun Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Biden diizinkan memproduksi semikonduktor, situasi berbeda terjadi pada masa pemerintahan Trump, yang membatasi hanya negara-negara sekutu AS untuk memproduksi teknologi kritis tersebut.
Meski tantangan eksternal besar, dengan sinergi antara kebijakan domestik, dukungan parlemen, dan sektor swasta, Airlangga tetap percaya diri bahwa Indonesia dapat mempertahankan jalur pertumbuhan yang positif dan mengatasi rintangan global, sehingga target pertumbuhan ekonomi 8% tetap bisa tercapai.