Efek Pengetatan Regulasi Tembakau: Pedagang Kecil Terhimpit Kesulitan

Sahrul

Pemerintah Indonesia tengah merencanakan pengetatan kebijakan seputar produk tembakau, dengan salah satu usulan utama yang akan mempengaruhi pasar, yaitu kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Hal ini, menurut banyak pihak, berpotensi memberikan dampak negatif pada para pedagang kecil yang menjadi ujung tombak distribusi produk tembakau, seperti pedagang eceran, pedagang kelontong, dan pedagang kaki lima (PKL).

Ali Mahsum Atmo, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), menyoroti bahwa sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, dampak terhadap pendapatan pedagang kecil sudah mulai terasa. Menurut Ali, jika kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini diterapkan, sektor usaha mikro ini akan semakin tertekan. “Jika aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga akan diterapkan, maka dampaknya akan semakin besar terhadap omzet ekonomi rakyat, termasuk pedagang kaki lima (PKL), toko kelontong, dan tenant lainnya,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (6/2/2025).

Dalam situasi yang semakin menantang ini, pedagang kecil sudah dihadapkan dengan sejumlah pembatasan, termasuk larangan menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak, serta larangan penjualan rokok secara eceran yang mulai diberlakukan sejak pengesahan PP 28/2024. Jika kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek benar-benar disahkan, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa pendapatan mereka akan semakin merosot.

Ali Mahsum menambahkan bahwa jika kebijakan tersebut dilaksanakan, sekitar satu juta pedagang asongan dan PKL serta 4,1 juta pedagang warung kelontong akan merasakan dampaknya, yang menurutnya sangat berpotensi merugikan mereka. “Kebijakan ini tidak hanya akan mempersulit kehidupan mereka, tetapi juga bertentangan dengan visi Pemerintahan Prabowo yang seharusnya fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk kalangan bawah,” tegasnya.

Lebih lanjut, pengetatan regulasi ini juga dinilai bisa merugikan perekonomian secara keseluruhan. Sumber-sumber dari pemerintah menyebutkan bahwa pada 2024, pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) Indonesia mencapai Rp216,9 triliun, yang berkontribusi lebih dari 95% dari total penerimaan cukai negara. Tak hanya itu, industri hasil tembakau (IHT) juga mempekerjakan jutaan tenaga kerja, memberikan lapangan pekerjaan di berbagai sektor.

“Oleh karena itu, pemerintah harus bijak dalam merumuskan kebijakan terkait produk tembakau,” kata Ali Mahsum.

Ali pun memberikan saran agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lebih mengutamakan pendekatan edukatif yang bersifat luas dan intensif, ketimbang terus-menerus memperkenalkan aturan yang dirasa dapat menekan sektor pedagang kecil. Dia berpendapat bahwa edukasi yang efektif akan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat, dan berpotensi menurunkan tingkat prevalensi merokok tanpa harus menambah beban bagi para pedagang. “Edukasi akan lebih efektif karena memberikan pemahaman dan mengajak semua pihak, termasuk keluarga,” jelasnya.

Sebagai langkah lanjut, Ali telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meminta agar PP 28/2024 dicabut dan penyusunan aturan turunan, seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dihentikan. Ali menyatakan bahwa kebijakan tersebut sangat diskriminatif dan lebih banyak merugikan rakyat kecil yang bergantung pada usaha mereka. “Aturan ini diskriminatif dan keluar dari ruh dan marwah Pak Prabowo yang menghormati dan bangga terhadap pedagang asongan dan kaki lima. Kebijakan ini mencederai keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah,” kata Ali dengan penuh keprihatinan.

Ali juga menilai bahwa ada kemungkinan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini dipengaruhi oleh intervensi asing yang ingin merugikan industri tembakau dalam negeri. Dia menegaskan bahwa Indonesia berhak untuk menentukan kebijakannya sendiri demi melindungi kesejahteraan rakyat. “Jangan sampai ujung-ujungnya rakyat kecil yang jadi korban,” pungkasnya.

Dengan semakin ketatnya regulasi yang diterapkan, ada harapan agar pemerintah lebih bijaksana dalam mempertimbangkan kebijakan yang berkaitan dengan tembakau, terutama yang dapat merugikan mereka yang sudah berada di garis depan perekonomian rakyat kecil.

Also Read

Tags

Leave a Comment