Kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi belanja negara melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mulai dirasakan dampaknya oleh berbagai sektor, terutama industri perhotelan. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, memberikan tanggapannya terkait keluhan para pelaku usaha di bidang tersebut.
“Itu benar-benar suatu konsekuensi yang dirasakan teman-teman di perhotelan,” kata Anindya kepada wartawan di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Meskipun demikian, Anindya menegaskan bahwa kebijakan efisiensi yang diambil pemerintah memiliki alasan kuat. Menurutnya, langkah ini dilakukan demi memastikan anggaran negara dikelola secara optimal dan digunakan dengan tepat sasaran.
“Jadi saya rasa itu konsekuensi harus dihadapi,” jelasnya.
Anindya menyoroti bahwa langkah penghematan anggaran berkaitan erat dengan kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus berhati-hati dalam mengatur pengeluaran negara agar tidak terjadi ketidakseimbangan finansial.
“Ini kan karena satu, ekonomi belum pasti, yang pasti kan adalah biaya. Jadi biaya yang dijaga dulu, saya rasa wajar,” ungkapnya.
Industri Perhotelan Alami Dampak Langsung
Salah satu sektor yang terdampak langsung dari kebijakan ini adalah perhotelan. Anindya mengungkapkan kekhawatirannya terhadap nasib para pelaku usaha di industri ini, terutama terkait penurunan tingkat okupansi kamar hotel setelah kebijakan efisiensi diterapkan.
“Jadi saya rasa itu konsekuensi yang harus dihadapi dalam waktu pendek. Tapi konsekuensi jangka panjang penghematan itu kan baik,” tutupnya.
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali telah menyuarakan keluhan serupa. Mereka mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran perjalanan dinas pemerintah berdampak besar pada sektor perhotelan, terutama bagi hotel-hotel yang mengandalkan acara berskala besar seperti meeting, incentives, conventions, and exhibitions (MICE).
Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, menjelaskan bahwa banyak agenda pertemuan yang sebelumnya sudah dipesan akhirnya terpaksa dibatalkan akibat keterbatasan anggaran.
“Banyak (dibatalkan), khususnya hotel-hotel yang mempunyai fasilitas MICE yang sudah di-booking. Seperti hotel di Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Legian, sampai Sanur,” ujar Rai.
Menurut Rai, dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh perhotelan di Bali, tetapi juga merembet ke berbagai daerah lain, termasuk Bandung, Surabaya, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya.
“Hampir semua daerah seperti di Bandung, Jawa Barat, Surabaya, Jakarta, termasuk Bali yang (hotelnya) telah di-booking akhirnya di-cancel karena anggarannya terbatas,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Rai berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam melakukan pemangkasan anggaran agar industri perhotelan tidak terlalu terpukul. Selain itu, ia juga mendorong pelaku usaha hotel untuk mencari inovasi lain agar tidak hanya bergantung pada acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran ini, para pelaku industri perhotelan diharapkan mampu beradaptasi dan mencari strategi baru dalam mengembangkan bisnis mereka di tengah tantangan ekonomi yang terus berkembang.