Inflasi rendah yang tengah dialami Indonesia belakangan ini menjadi topik perbincangan hangat di kalangan para pengamat ekonomi. Meski terkesan sebagai kabar baik, rendahnya tingkat inflasi ini justru memicu kekhawatiran di berbagai sektor. Sejumlah pakar menganggap kondisi ini sebagai sinyal adanya masalah mendalam dalam perekonomian yang perlu segera diatasi.
Sejak Juni 2023, Indonesia telah mengalami tren penurunan inflasi yang signifikan, bahkan mencatatkan angka inflasi terendah dalam sejarah negara pada 2024, yakni sebesar 1,57 persen. Dalam periode tersebut, Indonesia sempat mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, yakni antara Mei hingga September 2024. Deflasi ini akhirnya berhenti setelah Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan sedikit kenaikan pada Oktober 2024.
Namun, meskipun inflasi yang rendah dapat menunjukkan stabilitas harga, sejumlah pengamat ekonomi justru melihatnya sebagai “alarm bahaya” bagi perekonomian Indonesia. BPS pada awal tahun ini juga melaporkan deflasi kembali terjadi pada Januari 2025, dengan tarif listrik sebagai salah satu penyebab utama, menyumbang deflasi sebesar 1,47 persen.
Menurut Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, fenomena inflasi rendah ini harus diwaspadai. Andry menilai ada dua masalah yang sedang mengintai: pertama, pelemahan daya beli masyarakat, dan kedua, tanda-tanda pelemahan ekonomi secara keseluruhan. “Ini sudah alarm bahaya menurut saya,” ujar Andry. Ia menambahkan bahwa industri manufaktur Indonesia terus menunjukkan laju pertumbuhan yang rendah dalam beberapa tahun terakhir, dengan penurunan yang konsisten dari 2022 hingga 2024.
Salah satu faktor yang mendasari kondisi ini, menurut Andry, adalah pelemahan industri yang tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, yang semakin memperburuk daya beli masyarakat. “Industri terus melambat, orang kehilangan pekerjaan, dan konsumsi menurun,” lanjutnya. Andry pun mengajak Presiden Prabowo Subianto untuk segera turun tangan mengatasi persoalan ini, dengan langkah luar biasa guna memperbaiki kondisi industri dan perekonomian.
Sementara itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), mengungkapkan pandangan serupa. Huda menilai inflasi yang rendah adalah akibat dari menurunnya konsumsi masyarakat, yang dipicu oleh tingginya angka PHK. “Jika permintaan menurun, ini seperti alarm bahaya yang harus segera diatasi,” jelas Huda. Ia mengingatkan bahwa kondisi serupa pernah terjadi pada tahun 2009 saat krisis ekonomi global dan selama pandemi COVID-19, ketika daya beli masyarakat anjlok tajam.
Huda juga memberikan saran konkret bagi pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satunya dengan meniru kebijakan yang diterapkan negara seperti Vietnam dan India, yang menurunkan tarif pajak untuk mendorong konsumsi dan meningkatkan daya beli kelas menengah. “Saat daya beli meningkat, permintaan akan naik, dan inflasi biasanya akan mengikuti,” ungkapnya.
Dengan angka inflasi yang terus terjaga rendah, perekonomian Indonesia harus lebih waspada terhadap potensi dampak jangka panjang dari tren ini. Para ekonom sepakat bahwa, meskipun inflasi rendah dapat memberikan kestabilan harga, tanda-tanda stagnasi ekonomi yang lebih dalam perlu segera ditangani agar perekonomian Indonesia tidak terjebak dalam kondisi deflasi yang berkelanjutan.