Nike bersiap melakukan penyesuaian harga pada produknya yang akan berlaku mulai minggu depan. Langkah ini dipicu oleh tingginya tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sebagian besar alas kaki Nike diproduksi di China dan Vietnam, sehingga kenaikan biaya impor berdampak langsung pada harga akhir produk.
“Kami secara teratur mengevaluasi bisnis kami dan membuat penyesuaian harga sebagai bagian dari perencanaan musiman kami,” ujar Nike, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (22/5/2025).
Secara rinci, harga pakaian serta perlengkapan untuk dewasa akan mengalami peningkatan antara US$ 2 hingga US$ 10, yang bila dikonversi setara dengan sekitar Rp 32 ribu hingga Rp 164 ribu (kurs Rp 16.400 per dolar). Sementara produk dengan banderol antara US$ 100 hingga US$ 150 akan melonjak sekitar US$ 5, atau kurang lebih Rp 82 ribu.
Meski demikian, menjelang musim sekolah yang kian dekat, Nike memastikan tidak akan menaikkan harga untuk produk anak-anak. Ini menjadi strategi untuk tetap menjaga daya beli keluarga dan pasar anak-anak yang sensitif terhadap harga.
Untuk sepatu dengan harga di atas US$ 150, kenaikan bisa mencapai US$ 10 atau sekitar Rp 164 ribu. Namun, sepatu populer seperti Nike Air Force 1 yang dijual dengan harga sekitar US$ 155 (setara Rp 2,5 juta) tidak akan mengalami penyesuaian harga.
Selain perubahan harga, Nike juga berencana kembali merambah pasar Amazon di AS. Setelah sempat menarik diri dari platform e-commerce itu pada 2019 dan lebih fokus pada penjualan lewat situs web dan toko resmi, kini Nike ingin merebut kembali pangsa pasar yang mulai tergeser oleh pesaing baru.
Sebelumnya, produk Nike di Amazon hanya tersedia lewat pedagang independen, tetapi langkah kembalinya Nike ke Amazon bagian dari strategi investasi jangka panjang untuk memperluas jangkauan konsumen. Rencana ini juga mencakup ekspansi ke toko fisik baru, seperti jaringan department store Printemps.
Kenaikan harga produk Nike ini bisa diibaratkan seperti gelombang yang harus dihadapi dalam badai tarif impor yang menghempas pasar global, memaksa para pelaku bisnis untuk menyesuaikan layar demi menjaga arah kapal tetap stabil di tengah lautan ekonomi yang tidak menentu.