Polemik mengenai keberadaan Minyakita, minyak goreng kemasan sederhana yang dikembangkan pemerintah, semakin memanas. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengusulkan agar program Minyakita dihentikan dan digantikan dengan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Menurutnya, mekanisme yang diterapkan saat ini kurang efektif dan justru menciptakan ketidakseimbangan di pasar. Sejak diperkenalkan pada 2022, Minyakita telah mendominasi pasar, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
“Ini model minyak goreng begini, apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. Jadi di pasar itu sudah dominan Minyakita dibandingkan dengan minyak yang lain. Jadi sudah tidak ada kompetisi,” kata Sahat, dikutip Kamis (13/3/2025).
Ia juga menyoroti peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menekankan pentingnya menjaga persaingan yang sehat dan menghindari praktik monopoli. Oleh karena itu, ia mengajak pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang diterapkan demi kepentingan ekonomi nasional.
Lebih lanjut, Sahat menilai bahwa kondisi ini menjadi ironi karena Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun harga minyak goreng di dalam negeri tetap tinggi.
“Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah lah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa harga minyak mentah atau crude palm oil (CPO) yang dialokasikan untuk kebutuhan domestik seharusnya lebih rendah dibandingkan yang diekspor. “Minyak untuk domestik itu harus rendah nilainya, karena kita lah sumber yang tertinggi. Nah, minyak untuk ekspor itu juga harus diregulasikan, jangan diserahkan kepada perusahaan asing untuk mengatur harga kita,” terangnya.
Sebagai solusi, Sahat mengusulkan agar bantuan bagi masyarakat tidak lagi diberikan dalam bentuk minyak goreng bersubsidi, melainkan melalui mekanisme BLT yang lebih fleksibel.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 281,6 juta jiwa, dengan sekitar 9,03% atau sekitar 25,4 juta orang masuk dalam kategori berpenghasilan rendah. Jika dihitung dengan asumsi konsumsi minyak goreng mereka sebesar 8 kg per kapita per tahun, maka total kebutuhan mencapai sekitar 100 ribu ton per tahun.
“Nah, pembagiannya itu jangan berupa produk, lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai. BLT itu daftarnya kan ada di Departemen Sosial, ya kita berikan ke Departemen Sosial,” usul Sahat.
Ia menambahkan bahwa pendanaan program ini tidak perlu menggunakan anggaran pemerintah. “Dananya dari mana? Tidak usah dari pemerintah, itu dari levy (pungutan ekspor minyak sawit) saja kita ambil. Bahwa pemerintah akan menarik levy misalnya sebesar US$1. Itu kita tahu lah tujuannya itu untuk apa,” ucapnya.
Sahat juga menilai bahwa harga Minyakita seharusnya tidak lagi dipatok pada Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.700 per liter, melainkan dibiarkan mengikuti mekanisme pasar dengan harga sekitar Rp18.000 per liter.
“Nggak usah ada Minyakita lagi. Lepas saja harga mekanisme pasar,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan kuota ekspor minyak sawit dihapuskan.
“Sudah katakanlah Rp17.000 atau Rp18.000 per liter, udah semuanya harga minyak goreng standar Rp17.000 atau Rp18.000 per liter. Cuma untuk ke masyarakat tertentu yang kekurangan, mereka dikasih uang tunai,” katanya.
Menurutnya, meskipun DMO dihapus, pasokan minyak goreng di dalam negeri tetap akan terjaga.
“Kalau dia mau ekspor, mau ke mana dia ekspor? Kalau dia punya jalur. Kalau dia nggak punya jalur ekspor, dia akan menuhi dalam negeri. Karena dari 83 perusahaan produsen minyak goreng itu paling cuma 10 yang eksportir. Nah, yang 70 ini menjual hak ekspornya ke eksportir,” paparnya.
Sahat percaya bahwa dengan menghapus DMO dan Minyakita, mekanisme pasar akan lebih seimbang dan tidak lagi bergantung pada intervensi pemerintah.
“Minyak goreng dalam negeri tercukupi, karena margin dia bagus kok. Orang kan yang penting margin. Kalau dia punya jalur ekspor, ya dia ekspor. Kalau nggak punya, ya jual dalam negeri,” pungkasnya.