Tagar #KaburAjaDulu Viral! Benarkah Kerja di Luar Negeri Lebih Enak?

Yono

Media sosial tengah diramaikan oleh tren baru dengan tagar #KaburAjaDulu. Ungkapan ini menjadi simbol dari keinginan generasi muda untuk meninggalkan Indonesia, baik demi melanjutkan pendidikan maupun mencari peluang kerja di luar negeri.

Penyebab Tren #KaburAjaDulu

Tadjudin Nur Effendi, seorang pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa salah satu pemicu utama munculnya tagar ini adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Di sisi lain, Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan yang tidak produktif. Namun, ironisnya, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

“Sampai saat ini, kan yang terdengar bukan lapangan pekerjaan yang muncul, tapi kan banyak PHK. Memang adalah lapangan kerja dibuka, tapi yang paling santer belakangan ini PHK. Ini saya pikir cukup berat,” kata Tadjudin, saat dihubungi detikcom, Minggu (16/2/2025).

Selain sulitnya mendapatkan pekerjaan, terdapat faktor lain yang membuat pencari kerja enggan bertahan di dalam negeri. Salah satunya adalah persyaratan usia yang ketat serta ketidakseimbangan antara beban kerja dan penghasilan yang diperoleh.

Negara Tujuan Favorit dan Daya Tariknya

Karena berbagai tantangan tersebut, banyak anak muda yang lebih memilih mencari peluang kerja di luar negeri. Negara-negara seperti Singapura, Jepang, dan Australia menjadi tujuan utama karena menawarkan kondisi kerja yang lebih menguntungkan.

Salah satu alasan utama yang mendorong mereka bekerja di luar negeri adalah gaji yang lebih tinggi. Di Jepang, misalnya, pekerja dapat memperoleh hingga 1.000 yen per jam atau sekitar Rp 106.000 per jam (kurs Rp 106).

“Di Australia katanya ada yang sampai Rp 150.000 per jam yang di pertanian, peti anggur, apel, atau ceri. Dan kalau mereka kerja melampaui batas jam yang ditetapkan, mereka dapat uang lembur, dan ada bonus biasanya. Itu yang membuat tertarik ke sana,” ujarnya.

Tak hanya dari segi gaji, pekerja di luar negeri juga mendapatkan berbagai fasilitas tambahan seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, hingga tempat tinggal. Selain itu, uang lembur dan bonus juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin mencari peruntungan di luar negeri.

“Jadi menurut saya, #KaburAjaDulu bisa dilihat secara positif dan bisa dimanfaatkan. Daripada anak muda berpendidikan menganggur, tidak apa-apa pergi kerja dulu ke luar negeri, dapat pengalaman, dapat uang, nanti pulang ke Indonesia,” kata Tadjudin.

“Anak-anak yang #KaburAjaDulu, saya kira jangan-jangan setiap bulan dia mengirim uang ke Indonesia. Artinya, orang-orang itu mempunyai kontribusi kepada devisa kita. Kalau dulu pernah kita dengar ART yang bekerja di Malaysia, Arab Saudi, itu biasanya mereka akan mengirimkan uangnya ke Indonesia, kemudian mereka dapat sebutan pahlawan devisa,” sambungnya.

Dampak Ekonomi dan Risiko Jangka Panjang

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyoroti dampak ekonomi dari tren ini. Data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa remitansi atau transfer uang dari luar negeri ke Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2024, jumlahnya mencapai Rp 251,5 triliun, naik 14% dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini sebagian besar ditopang oleh semakin banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

“Jadi kalau dilihat tergantung, #KaburAjaDulu itu begitu di luar negeri dia apa? Dia hanya bekerja. Kalau dia hanya bekerja kan artinya dia masih menyumbang remitansi atau menyumbang transfer pendapatan ke keluarganya yang ada di Indonesia,” kata Bhima dihubungi terpisah.

Namun, ada kekhawatiran jika tren ini berlanjut hingga ke tahap perpindahan kewarganegaraan, yang dapat menyebabkan penurunan jumlah remitansi ke Indonesia. Jika para pekerja Indonesia mulai menetap di negara tujuan, membeli properti, kendaraan, dan menjadi wajib pajak di negara lain, maka Indonesia akan kehilangan potensi devisa yang cukup besar.

“Yang paling dikhawatirkan, begitu tren #KaburAjaDulu sampai pindah kewarganegaraan, termasuk membeli properti, kendaraan bermotor, dan menjadi wajib pajak di negara tempat dia tinggal. Satu, perputaran ekonomi domestik, kita akan ditinggalkan anak-anak usia produktif yang seharusnya bisa bekerja di domestik dan memutar uangnya di dalam negeri,” ujar Bhima.

Tak hanya itu, fenomena ini juga bisa memicu krisis tenaga kerja dalam jangka panjang atau yang dikenal sebagai brain drain, di mana talenta terbaik Indonesia lebih memilih mengembangkan kariernya di luar negeri. Bhima menambahkan bahwa sektor digital di Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga kerja terampil, dengan kebutuhan mencapai 9 juta orang untuk posisi semi-terampil hingga tingkat keahlian tinggi.

“Sektor digital di Indonesia masih kekurangan 9 juta orang tenaga kerja semi skill dan high skill atau keahlian tinggi, tapi justru kita memenuhi pasar di negara orang. Itu bisa ada bencana krisis demografi di Indonesia,” pungkasnya.

Kesimpulan

Tren #KaburAjaDulu mencerminkan realitas sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Meski memberikan manfaat ekonomi dalam bentuk remitansi, tren ini juga berpotensi merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat agar tenaga kerja Indonesia tetap memiliki daya saing di dalam negeri tanpa harus mencari peluang di luar negeri.

Also Read

Tags

Leave a Comment