Industri minyak dan gas kembali mengalami gejolak. Salah satu raksasa energi asal Amerika Serikat, Chevron, mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 15-20% dari total tenaga kerjanya di seluruh dunia. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari strategi efisiensi yang ditargetkan berlangsung hingga akhir 2026.
Berdasarkan laporan CNN, Jumat (14/2/2025), Chevron mempekerjakan 40.212 orang hingga akhir tahun 2023. Dengan adanya kebijakan pemangkasan ini, sekitar 8.000 karyawan diperkirakan akan terdampak. PHK massal ini merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk menekan biaya operasional yang membengkak dan menyederhanakan proses bisnis agar lebih efisien.
Chevron menargetkan pemotongan biaya hingga US$ 3 miliar atau sekitar Rp 48,8 triliun (kurs Rp 16.267 per dolar AS) dalam periode tiga tahun ke depan.
“Chevron mengambil tindakan untuk menyederhanakan struktur organisasi kami, menjalankan tugas dengan lebih cepat dan lebih efektif, serta memposisikan perusahaan untuk daya saing jangka panjang yang lebih kuat,” ujar Wakil Ketua Chevron, Mark Nelson, dalam pernyataan resminya.
“Kami tidak menganggap enteng tindakan ini dan akan mendukung karyawan kami melalui masa transisi,” tambahnya.
Sumber yang memahami kebijakan internal perusahaan menyebutkan bahwa Chevron tengah melakukan penataan ulang bisnisnya secara menyeluruh. Dalam waktu dekat, perusahaan akan mengumumkan struktur kepemimpinan organisasi yang baru sebagai bagian dari langkah transformasi.
Keputusan ini muncul di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Chevron, termasuk lonjakan biaya operasional dan keterlambatan proyek di Kazakhstan. Selain itu, perusahaan juga tengah terlibat dalam sengketa hukum dengan Exxon Mobil terkait rencana akuisisi Hess Corporation, yang menjadi bagian penting dari strategi ekspansi Chevron dalam meningkatkan produksi minyak.
Dengan dinamika industri energi yang semakin kompleks, langkah Chevron ini menjadi salah satu strategi bertahan di tengah ketidakpastian pasar global. Namun, bagi ribuan karyawan yang terdampak, keputusan ini tentu menjadi pukulan berat di tengah ketatnya persaingan industri energi.






