Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali mengguncang perekonomian global dengan kebijakan tarif impor baru yang menyasar tiga mitra dagang utama: Kanada, Meksiko, dan China. Langkah ini diprediksi akan membawa dampak besar, tidak hanya bagi negara-negara yang terlibat langsung, tetapi juga bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Dampak Tidak Langsung bagi Indonesia
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam ketegangan dagang ini, efek samping dari kebijakan tersebut tetap akan terasa. Salah satu aspek utama yang berpotensi terdampak adalah stabilitas nilai tukar rupiah serta arus investasi asing langsung (FDI).
“Dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran FDI dan portfolio investment terhambat; hal ini akan berdampak bagi ekonomi kita,” kata Wijayanto.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini bertepatan dengan periode penting bagi Indonesia, di mana pemerintah perlu melakukan refinancing utang dan menerbitkan obligasi baru dengan nilai besar.
“Yang paling krusial, ini terjadi di saat kita perlu melakukan refinancing utang dan menerbitkan utang baru sebesar Rp 1.575 triliun di tahun 2025 dan nilai yang hampir sama di tahun 2026,” tambahnya.
Jika ketidakstabilan ekonomi global semakin meningkat, Indonesia berisiko harus menaikkan suku bunga, yang dapat berdampak pada biaya pinjaman dan pertumbuhan ekonomi domestik. Skenario terburuknya, investor asing justru menarik dan melepas kepemilikan mereka terhadap Surat Berharga Negara (SBN) serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sehingga memperburuk kondisi pasar keuangan.
Potensi Peluang bagi Indonesia
Meski terdapat ancaman, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, melihat celah bagi Indonesia untuk memanfaatkan situasi ini. Ia berpendapat bahwa peningkatan tarif impor AS terhadap Kanada dan Meksiko dapat memberikan ruang lebih besar bagi produk ekspor Indonesia untuk bersaing di pasar AS.
“Mungkin next saya rasa mungkin juga Vietnam ya (dikenakan kenaikan tarif). Nah ini semestinya negara-negara lain yang yang belum dikenakan tarif atau mungkin akan ditarif tapi lebih kecil. Nah ini bisa lebih ‘diuntungkan’ untuk bisa, artinya peluang untuk bersaing di pasar Amerika-nya, di produk ekspornya itu meningkat,” kata Faisal.
Indonesia memiliki kemiripan produk ekspor dengan Vietnam dan China, seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Dengan adanya kebijakan baru AS, barang-barang dari Indonesia bisa menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan produk dari negara-negara yang dikenakan tarif lebih tinggi.
Ancaman Potensial: Indonesia Bisa Kena Dampak Selanjutnya?
Namun, Faisal juga mengingatkan bahwa Indonesia tetap harus waspada. Ia menilai bahwa jika kebijakan tarif ini diperluas, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia juga akan terkena dampak serupa. Terlebih, Indonesia masih bergantung pada fasilitas perdagangan yang diberikan oleh AS.
Salah satu sektor yang paling rentan terkena imbas adalah industri tekstil dan alas kaki. Jika AS menerapkan tarif lebih tinggi pada barang-barang impor dari Indonesia, maka industri dalam negeri harus segera mencari strategi baru untuk mengalihkan pasar, baik ke negara lain maupun ke pasar domestik.
“Sehingga kalau kemudian nanti ada peningkatan tarif perdagangan, ini perlu diantisipasi dengan bagaimana skenarionya nanti untuk pengalihan penyaluran produk-produk ekspor yang dari Amerika juga ke negara-negara yang lain alternatif atau ke pasar dalam negeri Malang begitu ya supaya tidak terjadi shock pada industri bersangkutan yang bisa berpotensi malah meningkatkan gelombang PHK mungkin di khawatirkan,” jelasnya.
Kebijakan Trump dan Potensi Perang Dagang Baru
Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Trump bukanlah yang pertama, tetapi kali ini kebijakannya lebih luas dan agresif. Trump menandatangani tiga perintah eksekutif terpisah setelah bermain golf di Florida pada Sabtu (1/2/2025). Dalam perintah tersebut, ia menetapkan tarif sebesar 25% pada barang impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10% pada barang dari China.
Menurut para ekonom, keputusan ini bisa memicu perang dagang baru yang berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan inflasi. Apabila eskalasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia juga akan terkena dampaknya secara langsung dalam waktu dekat.
Kesimpulan
Perang dagang AS dengan Kanada, Meksiko, dan China memberikan efek domino bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Meskipun dampak langsungnya mungkin tidak signifikan, ketidakstabilan ekonomi global yang diakibatkannya dapat berimbas pada nilai tukar rupiah, investasi asing, serta kebijakan moneter Indonesia.
Di sisi lain, ada peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekspornya di AS. Namun, pemerintah perlu bersiap dengan strategi alternatif jika AS memperluas kebijakan tarifnya ke lebih banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, langkah antisipatif menjadi kunci dalam menghadapi ketidakpastian global ini.






