Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk akhirnya memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap dua mitra dagang utama negaranya, yakni Kanada dan Meksiko, serta tambahan 10% terhadap China, telah menciptakan ketidakpastian besar di kalangan pebisnis. Para pelaku usaha kini bergerak cepat dalam merancang strategi guna mengurangi dampak kebijakan tersebut.
Mengutip Reuters, Selasa (4/3/2025), tarif baru ini resmi diberlakukan hari ini. Presiden dari Partai Republik tersebut beralasan bahwa bea masuk ini dikenakan lantaran Meksiko dan Kanada dianggap gagal mengendalikan arus masuk imigran serta fentanyl ke AS. Sementara itu, kebijakan serupa terhadap China diklaim sebagai upaya menyeimbangkan neraca perdagangan dengan negara tersebut.
Kebijakan tarif yang diterapkan Trump telah menjadi perbincangan utama di lingkungan korporasi AS sepanjang tahun ini. Sejak awal 2025, lebih dari 750 perusahaan besar di Negeri Paman Sam telah membahas isu ini, baik dalam forum investor maupun dalam konferensi terkait kinerja keuangan.
Dalam beberapa minggu terakhir, banyak perusahaan bergegas mengamankan pasokan barang sebelum tarif diberlakukan secara penuh. Namun, para eksekutif bisnis masih cenderung menahan diri dalam mengambil keputusan investasi dan pengeluaran, mengingat Trump kerap mengubah kebijakan tarif sejak kembali menjabat.
Selain itu, Trump juga mengumumkan rencana tarif tambahan terhadap Uni Eropa dan melakukan penyelidikan terhadap impor tembaga serta kayu, yang kemungkinan besar akan berdampak pada bea masuk komoditas tersebut. Di sisi lain, negara-negara yang terkena dampak sudah menyatakan niat mereka untuk melakukan tindakan balasan.
“Ketidakpastian terus berlanjut,” kata David Young, seorang eksekutif di Conference Board, sebuah kelompok bisnis global. “Ada keputusan yang ditunda dan diundur … ada tingkat kelumpuhan yang nyata.”
Para eksekutif bisnis juga berupaya menenangkan investor dengan memastikan bahwa mereka dapat menyesuaikan atau meneruskan beban biaya yang meningkat akibat tarif ini. Namun, di sisi lain, ketidakstabilan kebijakan dari Gedung Putih juga menimbulkan rasa frustrasi.
“Sehubungan dengan tarif, saya rasa tebakan Anda sama bagusnya dengan tebakan saya. Keadaan terus berubah dari hari ke hari,” kata Hilton Schlosberg, salah satu CEO Monster Beverage, dalam panggilan pendapatan perusahaan pada 27 Februari.
Tergerusnya Kepercayaan Pasar
Kondisi ekonomi yang tidak menentu telah menggoyahkan kepercayaan pelaku bisnis dan konsumen dalam beberapa pekan terakhir. Padahal, setelah terpilih kembali, Trump sempat memberikan harapan baru bagi stabilitas ekonomi. Namun, data terbaru dari Indeks Manufaktur ISM menunjukkan lonjakan signifikan dalam ekspektasi inflasi pada Februari, di mana tarif perdagangan disebut sebagai salah satu penyebab utamanya.
Kepercayaan konsumen AS juga mengalami penurunan tajam ke titik terendah dalam delapan bulan terakhir akibat lonjakan inflasi. Raksasa ritel seperti Walmart dan Lowe bahkan memperingatkan adanya perlambatan dalam permintaan pasar.
“Ketidakpastian itulah yang memicu kecemasan pelanggan,” kata CEO Autodesk Andrew Anagnost kepada para investor. “Itulah hal yang ingin kami lewati. Kami ingin beralih ke kepastian (dalam) kebijakan … ketidakpastian bukanlah sesuatu yang ingin diatasi oleh pelanggan kami.”
Pada periode kepemimpinan pertamanya, Trump fokus pada upaya menindak praktik perdagangan yang dianggap merugikan AS, terutama dari China. Kini, ia kembali menerapkan tarif tambahan sebesar 10% untuk barang-barang dari negara Tirai Bambu serta mengancam akan mengenakan bea masuk bagi kapal buatan Beijing.
AS sendiri mengimpor barang senilai US$900 miliar (Rp14.805 triliun) per tahun dari Kanada dan Meksiko. Ketiga negara ini memiliki keterkaitan erat dalam rantai pasokan industri otomotif, di mana komponen kendaraan kerap melintasi batas negara beberapa kali dalam proses produksinya.
Penasihat dan pendukung kebijakan Trump menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan menarik lebih banyak investasi manufaktur ke dalam negeri guna mengurangi defisit perdagangan yang selama ini membengkak.
“Meskipun tarif bersifat inflasi dan mungkin merugikan dalam jangka pendek, tarif akan berdampak baik bagi lapangan pekerjaan di Amerika dalam jangka panjang,” ujar Justus Parmar, CEO Fortuna Investments.
Beberapa perusahaan, seperti Honda dan Pfizer, menyatakan kesediaannya untuk memindahkan sebagian produksi mereka ke AS guna menghindari dampak tarif. Namun, langkah ini juga berisiko meningkatkan biaya operasional mereka. Sementara itu, sejumlah pelaku usaha menganggap hal ini bukan solusi jangka panjang.
“Itu pemborosan sumber daya yang sangat besar,” ungkap Pat D’Eramo, kepala eksekutif pemasok mobil Kanada Martinrea. “Saya lebih suka berupaya mengurangi biaya saya sehingga kami dapat menjadi lebih kompetitif.”






