Eks Direktur PPI Didakwa: Terlibat dalam Kasus Korupsi Importasi Gula

Yono

Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI, Charles Sitorus, resmi didakwa terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait importasi gula yang terjadi di Kementerian Perdagangan pada periode 2015–2016.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Muhammad Fadil Paramajeng, menyatakan bahwa tindakan melawan hukum yang dilakukan Charles telah menyebabkan keuntungan bagi sejumlah pihak, yang berdampak pada kerugian keuangan negara hingga Rp578,1 miliar.

“Perbuatan Charles telah memperkaya pihak lain senilai Rp295,15 miliar, yang merupakan bagian dari total kerugian negara,” ujar JPU dalam pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Atas perbuatannya, Charles dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut pemaparan JPU, Charles diduga tidak menjalankan tugasnya dalam pembentukan stok gula nasional dan penentuan harga gula nasional sesuai dengan Harga Patokan Petani (HPP). Ia juga tidak menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi gula, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PPI tahun 2016.

Sebaliknya, ia justru membuat kesepakatan terkait harga jual gula kristal putih dari produsen gula rafinasi kepada PT PPI. Pengaturan tersebut mencakup harga jual gula dari produsen ke PT PPI serta harga jual dari PT PPI kepada distributor yang ditetapkan di atas HPP. Kesepakatan ini dilakukan bersama delapan perusahaan.

Delapan perusahaan tersebut meliputi PT Angels Products yang dipimpin oleh Direktur Utama Tony Wijaya, PT Makassar Tene yang dikelola oleh Then Surianto Eka Prasetyo, PT Sentra Usahatama Jaya dengan Direktur Utama Hansen Setiawan, dan PT Medan Sugar Industry yang dipimpin oleh Indra Suryadiningrat.

Selain itu, turut serta PT Permata Dunia Sukses Utama yang dikepalai oleh Eka Sapanca, PT Andalan Furnindo dengan Presiden Direktur Wisnu Hendraningrat, PT Duta Sugar International yang dikelola oleh Hendrogiarto Tiwow, serta PT Berkah Manis Makmur yang dipimpin oleh Hans Falita Hutama.

“Padahal delapan perusahaan tersebut merupakan produsen dalam negeri yang hanya memiliki izin industri untuk mengolah gula kristal mentah impor menjadi gula kristal rafinasi guna kebutuhan industri makanan. Persetujuan itu diberikan oleh mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong),” kata JPU.

Dalam tugasnya membentuk stok dan harga gula nasional, Charles justru menjalin kerja sama pengadaan gula kristal putih dengan delapan perusahaan tersebut. Padahal, perusahaan-perusahaan ini seharusnya tidak memiliki wewenang untuk mengolah gula mentah impor menjadi gula kristal putih karena izin mereka hanya mencakup produksi gula rafinasi untuk sektor industri makanan.

Lebih jauh, JPU menjelaskan bahwa Charles tidak melaksanakan distribusi gula kristal putih untuk membentuk stok nasional dan mengendalikan harga melalui mekanisme operasi pasar atau program pasar murah. Sebaliknya, ia justru mendistribusikan gula melalui jaringan distributor yang telah diatur berdasarkan kesepakatan antara dirinya dan pihak-pihak terkait.

Selain delapan perusahaan sebelumnya, kesepakatan ini juga melibatkan Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas, Ali Sandjaja Boedidarmo.

Charles juga disebut mengetahui persetujuan impor yang diterbitkan oleh Tom Lembong kepada perusahaan-perusahaan tersebut tanpa adanya koordinasi antarkementerian. Bahkan, persetujuan impor itu diberikan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

“Charles juga mengetahui persetujuan impor yang diterbitkan Tom Lembong kepada PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Kebun Tebu Mas, tanpa rekomendasi menteri perindustrian,” lanjut JPU.

Akibat perbuatan tersebut, JPU mengungkap bahwa sejumlah pihak mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Tony Wijaya memperoleh keuntungan sebesar Rp29,16 miliar, Then Surianto Rp27,26 miliar, Hansen Setiawan Rp30,99 miliar, Indra Suryadiningrat Rp30 miliar, Eka Sapanca Rp18,26 miliar, Wisnu Hendraningrat Rp22,46 miliar, Hendrogiarto Tiwow Rp41,23 miliar, Hans Falita Hutama Rp47,84 miliar, serta Ali Sandjaja Boedidarmo sebesar Rp47,87 miliar.

Kasus ini masih terus bergulir di persidangan, dan keputusan hukum terhadap Charles Sitorus beserta pihak-pihak terkait masih dinantikan. Sidang selanjutnya dijadwalkan untuk mendengarkan pembelaan dari terdakwa serta keterangan saksi-saksi yang relevan.

Also Read

Tags

Leave a Comment